Bolehkah Iri?
Artikel ini berawal dari pertanyaan mahasiswa mengenai keadaan dirinya
yang memiliki sifat iri, yakni iri pada kebaikan teman. Sejauh yang
diketahuinya, bahwa iri dengan kebaikan itu diperbolehkan. Lantas sikap ini
menyebabkan dirinya merasa kurang bisa merayakan,-katakan merasa bahagia,
dengan keberhasilan yang diraih temannya, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Hal
itu menyebabkan kegalauan sendiri dalam dirinya sehingga ia merasa bahwa
dirinya adalah orang jahat.
Pada dasarnya iri atau sifat hasad itu tidak diperbolehkan
oleh Islam. Sifat ini termasuk sifat tercela yang sudah seharusnya dijauhi oleh
setiap muslim. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa, sifat hasad/iri bisa
menghapuskan kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar. Artinya betatapun
seorang yang hasad melakukan ibadah, tekun dalam mendekatkan diri kepada Allah,
amalnya akan sia-sia akibat adanya sifat hasad dalam dirinya. Ini menunjukkan
bahaya sifat ini agar sebisa mungkin dijauhi dan ditinggalkan oleh semua umat
Islam.
Namun demikian, ada keterangan yang menyebutkan bahwa hasad
diperboleh dalam beberapa hal, yakni sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut:
لاَ حَسَدَ
إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ
فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا
وَيُعَلِّمُهَا
Artinya: “Tidak
boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah
anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang
Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan
mengajarkannya.”
Hadits ini
lah yang nampaknya menjadi dasar/pegangan setiap orang yang memiliki rasa
iri/hasad dalam hal kebaikan kepada sesama saudaranya. Jika demikian tentu
hasad yang sesuai dengan hadits di atas dibenarkan. Lantas bagaimana dengan
kasus yang dialaminya? Ia merasa iri dan bahkan merasa tidak bisa bahagia
dengan keberhasilan teman.
Di sini
memang kita perlu hati-hati dengan segala bentuk permainan dan tipu daya
syaithan. Syaithan memiliki kelihaian dalam membelokkan hati manusia, sehingga
bentuk ketaatan pun bisa berubah menjadi bentuk kemaksiatan.
Sedangkal
pemahaman penulis, yang dimaksudkan hadits ini adalah agar setiap orang
memiliki motivasi dalam menjalankan kebaikan. Pada redaksi hadits yang pertama
disebutkan, “orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan
pada jalan kebaikan”. Artinya menurut hemat penulis, bahwa setiap umat
Islam hendaknya memiliki cita-cita untuk menjadi orang kaya yang dengan
kekayaannya tersebut ia bisa berjuang untuk agamanya, serta membantu orang lain
yang membutuhkan pertolongan.
Islam mengajarkan
setiap umatnya untuk menjadi seorang yang kuat, termasuk kuat ekonominya
sehingga dengan kekuatan ekonomi, -kekayaan, yang dimilikinya dia bisa berjuang
menegakkan kalimat Allah dan mengentaskan orang lain dari kesengsaraan. Ini satu
perilaku dan sikap yang mulia. Namun, yang perlu dicamkan, bahwa bukan berarti
orientasi hidup seorang muslim itu adalah harta, bukan.
Banyak orang
yang menyalah artikan ‘zuhud’ dalam konsep tasawuf Islam. Mereka menganggap
bahwa orang-orang tasawuflah penyebab kemunduran Islam karena mereka menganggap
dunia beserta seluruh isinya remeh temeh dan karenanya tidak perlu memburunya.
Konsep tasawuf
‘zuhud’ ini sesungguhnya jika benar-benar diterapkan dalam dunia Islam
sepenuh kesadaran, justru akan terjadi revolusi besar dalam berbagai sendi
kehidupan, termasuk di dalamnya adalah urusan ekonomi. Sejarah mencatat bahwa
banyak pergerakan Islam justru dimulai dari gerakan tasawuf.
Bagi zahidin,
mencari harta dan kekayaan adalah perintah Allah yang tidak boleh
dilalaikan. Kerja keras harus dijalankan sebagai bentuk sunnatullah, demikian
pula belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bagi para zahid,
sunnatullah itu tidak bisa ditawar. Hanya saja, yang tidak boleh dilakukan
adalah menjadikan semua itu untuk menumpuk kekayaan pribadi, menjadikan ilmu
sebagai suatu tujuan kebanggaan dan pada akhirnya, tidak memperhatikan manfaat
dan madharat yang ditimbulkannya.
Karena itulah
seorang zahid, tidak merasa berat untuk mengeluarkan dan menginfakkan
harta bendanya untuk berjuang dan membantu orang lain. Nah, kalau begitu, maka
kita layak iri. Iri untuk bekerja dengan giat, hingga bisa berdiri di atas kaki
sendiri, tidak bergantung pada orang lain dan karenanya kita bisa berjuang
dengan harta yang kita miliki serta membantu yang lain.
Coba bayangkan
jika ‘zuhud’ dipahami dengan sikap yang pasif, yang karenanya seseorang
merasa tidak perlu untuk bekerja dan berusaha. Bagaimana jika orang Islam
miskin, untuk membangun masjid harus meminta bantuan kepada orang non muslim,
saudaranya kelaparan tidak mampu menolongnya, hingga orang lain yang non muslimlah
yang membantunya. Tentu hal ini bisa berbahaya bagi akidah mereka.
Rasul mengajarkan
kepedulian kepada sesama. Bukankah saat kita memasak, jika baunya tercium oleh
tetangga kita dianjurkan untuk memberinya, meski hanya dengan memperbanyak
kuahnya? Artinya, meski dalam keterbatasan kita masih tetap dianjurkan untuk
peduli kepada yang lain, dan bukannya cuek, acuh pada nasib saudara kita. Karena
itu diperbolehkan hasad dalam hal ini.
Redaksi kedua
menyebutkan, “orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah),
ia menunaikan dan mengajarkannya.” Boleh kita hasad pada kondisi seperti
ini.
Lagi-lagi
Rasul Saw. ingin memberikan motivasi kepada kita umat Islam untuk giat belajar.
Jangan sampai kita kalah pinter dari orang lain, terutama orang non muslim. Jika
kita melihat teman pandai segera saja kita dekati agar kita bisa mendapatkan
manfaat darinya. Lebih giat belajarnya, lebih meningkat prestasinya hingga kita
bisa mengambil manfaat untuk diri kita serta memberikan manfaat pada yang
lainnya.
Perhatikan
endingnya, Islam selalu memperhatikan
nasib yang lain, juga tidak melupakan diri sendiri. Mengapa ini penting
diutarakan Rasul? Rasul tahu secara pasti karena beliau selalu dibimbing dengan
wahyu bahwa ilmu itu kunci bagi perkembangan peradaban manusia. Siapa saja yang
memiliki ilmu lebih dari yang lain, maka ia akan menjadi orang yang paling
mulia dibandingkan yang lain. Tentunya dengan catatan. Apa catatannya?
Catatannya
adalah ia mengamalkannya, dan kedua berbagai dengan yang lain. Tentu, yang
dikehendaki rasul di sini, tidak sekedar ilmu yang termaktub dalam al-Qur’an
dan hadits. Ilmu ini bersifat umum, dan utamanya adalah yang berkaitan dengan
al-Qur’an dan hadits. Mengapa demikian? Karena ilmu yang bersumber dari kedua
pusaka ini akan menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Lantas bagaimana
jika ‘iri’, hasad, pada kebaikan ini berbuntut pada ‘kegalauan’ dan ‘kegelisahan’?.
Ini yang harus kita waspadai. Tidak mungkin sesuatu yang diperintahkan oleh
Rasul Saw. yang bersumber dari tuntunan wahyu itu berujung pada keresahan. Sesuatu
yang berujung pada keresahan, bisa dipastikan adalah satu hal yang ‘salah’. Ada
qaul yang mengatakan, saya tidak tahu secara pasti apakah itu hadits atau
bukan, “Kebaikan itu yang menenangkan hati, sementara dosa itu yang
meresahkan jiwa”.
Jika ada
keresahan dalam hati saat melakukan kebaikan tentu itu bukan kebaikan yang
sesungguhnya. Ada kesalahan yang menyertainya, apa itu? Mungkin itu di dorong
oleh nafsu ataupun bisikan setan. Akibatnya, sesuatu yang mestinya adalah
menenangkan justru berbuntut pada ketidak tenangan.
Karena itu,
selayaknya agar senantiasa berusaha koreksi diri, jangan-jangan apa yang
menurut kita baik, sebenarnya adalah kesalahan yang dibelokkan oleh nafsu atau
bisikan setan. Iri kepada kebaikan harus berbuntut pada ketenangan, yakni
berorientasi kepada ‘penghambaan kepada-Nya’, karena kehidupan ini sesungguhnya
semata mengabdi kepada-Nya.
Cita-cita,
himmah itu baik dan harus. Ambisi itu buruk, jelek dan harus ditinggalkan. Mengapa?
Di dalam cita-cita dan himmah ada dorongan perintah ibadah dan pengabdian
kepada-Nya. Sementara di dalam ambisi ada nafsu, ananiyah dan bisikan
permainan syaitan di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar